Rabu, 05 Maret 2014

Sekuntum Nyawa Untuk Sahabat

Bunga Matahariku
       Derasnya air hujan malam ini membuat hatiku yang sedih semakin risau. Bunga matahari pemberian-nya tadi siang kelihatan condong ke arahku, seakan bersimpati dengan isi hatiku. Ingatanku melonjak pada kejadian pagi tadi
       Di hari yang cerah itu, sebagaimana permintaan Ibu guru pelajaran IPA seminggu sebelumnya, kami membawa biji-bijian bunga untuk ditanam di halaman sekolah. Tampaknya kami sangat bangga dengan biji-bijian yang kami bawa.
       Saat itu aku membawa biji bunga anggek putih yang ada di depan rumahku. Sedangkan Dyah, temanku, membawa biji bunga matahari. Kami berdua mulai menanam biji-bijian yang kami bawa di depan sekolah kami
       ''Dyah, bunga mataharimu nanti ditanam di sebelah bunga sepatu ini ya?'' perintah Ibu Yuli kepadanya.
       ''Insya Allah, Bu. Tapi kalau saya tidak bisa, bolehkan saya minta tolong kepada teman untuk menanamkannya?'' jawab Dyah.
       ''Boleh saja. Asalkan tetap hati-hati ya.'' saran Ibu Yuli kepadanya.
       Saat itu juga dia menghampiriku dan membicarakan keperluannya kepadaku. Aku pun serius mendengarkan. Ketika pekerjaan tanam biji bunga matahari telah usai, sebagai rasa terimakasih, dia memberikan sebuah bunga matahari yang telah berdaun dua dan tumbuh subur di dalam pot kepadaku.
       ''Terimakasih kuucapkan kepadamu yang telah membantu aku dalam menyelesaikan tugasku menanam biji bunga matahari di depan halaman sekolah.''
       ''Kita kan sesama manusia yang punya akal pikiran. Jadi sepantasnya kita hidup saling tolong menolong.''
       ''Sebagai tanda terimakasih, terimalah bunga matahari kecil ini. Rawatlah ia di rumahmu!''
       Aku menerima pemberiannya dengan suka cita. Ia menatapku lekat. Selepas itu, ia juga memberi biji bunga itu pada teman-teman sekelas. Rasanya aneh melihat Dyah membagikan sekantong biji bunga matahari pada teman-teman sekelas. Keanehan itu semakin bertambah tatkala saat pulang sekolah, dia memintaku mengantarkannya sampai rumah. Tidak seperti biasaknya.
        ''Bisakan engkau mengantarkan aku pulang sampai ke rumah, karena perutku mual dan kepalaku sakit. Sekujur tubuhku pun terasa tidak enak.'' curhatnya kepadaku.
        Aku tak tega dan merasa prihatin dengan kondisinya. Sepanjang jalan, aku memboncengnya. Tak biasanya ia diam. Mungkin sakit, pikirku. Padahal biasanya ia lebih sering bercanda dan mengobrol panjang lebar. Aku mencoba mengajaknya bercanda, tapi ia hanya menanggapiku dengan dingin. Tak seantusias biasanya.
        Setelah sampai di rumahnya, dia berpamitan padaku, meminta aku memaafkan segala kesalahannya selama ini. Ia menjahat tanganku erat dan menatapku lekat. Ah, tambah aneh saja gadis ayu itu.
        Aku memutukan pulang dan beristirahat sejenak, sebab pukul 15.00 aku harus mengajar Al-Quran di mushalla. Saat mengajar, pikiranku tak konsentrasi. Hatiku tak tentram. Seperti ada yang mengganjal. Meskipun aku sadar, ingatanku masih mengarah pada keanehan Dyah seharian ini.
        Selepas mengajar, aku asyik bermain dengan keponakanku yang masih berusia dua tahun. Jarum jam menunjuk pukul 17.30. Tidak lama kemudian, aku mendengar pengumuman dari masjid di samping rumahku. Bak tersambar petir, aku kaget bukan kepalang mendengar pengumuman itu. Dyah, sahabatku, sekarang telah menghadap yang Maha Kuasa. Mungkin rangkaian kejadian  di siang tadi merupakan firasat perpisahan terakhir darinya. Aku menatap lekat bunga matahari pemberiannya. Masih terlihat elok, meski sedikit layu.
         kriiceet..
         Pintu kamarku terbuka.
         Meoong..
         Glaston, kucing kesayanganku masuk dan menuju ke arahku, lalu bersandar di pangkuanku. Seperti biasa. Lamunanku tentang kejadian tadi siang langsung pudar. Aku mengelus kucingku manja. Ia tampak menikmatinya.
        "Hadi.. Hadi..tolong antarkan Ibu ke rumah Masmu. Mbak Titik sudah mau melahirkan. Ayo cepetan ganti baju!" ibu sedikit berteriak dari ruang tengah.
        "Ah, alhamdulillah. Aku sudah dapat kepinakan lagi." gumamku dalam hati bersyukur. Istri kakakku mau melahirkan anak keduanya.
        Kulirik jam dinding, 21.17 WIB. Sudah mulai larut.
        Glaston segara kuletakkan di kursi. Aneh, tubuhnya dingin, sedikit kaku, Aku menggoyangkan ekornya, berharap ia akan mengeong manja. Tak ada reaksi. Aku sedikit cemas. Kuguncangkan jasad kucing imutku itu. Tak ada tanggapan manja seperti biasanya. Kecemasanku memuncak. Glaston telah kaku. Tubuhku lungkai. Airmataku tanpa sadar menetes Dalam sehari aku meneteskan air mata dua kali. meninggalnya sahabatku dan kucing kesayanganku. jika Tuhan terlah berkehendak semuanya bisa terjadi. Tak ada satu daun yang gugur kecuali atas izin Allah.
        Aku langsung tersadar. Allah mengingatkanku tentang keberadaan Izrail yang datang bertamu kapan saja. Ajal diam-diam mengintip dan menunggu semua makhluk. Siap atau tidak, kita pasti menghadapi kematian. Terimakasih ya Allah, hari ini dengan kedua kejadian ini engkau telah menohok kelalaianku tentang sebuah kepastian yang tak bisa diprediksi kapan kedatangannya: Kematian.
        Aku menggendong tubuh kaku Glaston keluar kamar. Ibuku heran melihat mataku memerah. Segara kutunjukkan kucing kesayanganku padanya. Ibu mafhum dan memintaku segera menguburnya. Segera kulaksanakan.
        "Kalau sudah selesai, ayo kita berangkat ke rumah kakakmu. Bapak sudah di sana sejak sore tadi." ibu mulai mengultimatum agar aku bergegas.
        Di perjalanan, aku mengemudi sepeda motor dengan pikiran gundah. Ibu menyangka aku masih berduka akibat kematian kucing imutku tadi. Tidak, yang kupikirkan haryalah tentang kematian. Berapa banyak dari kita yang tak siap mengantisipasinya.
        Aku tiba di rumah kakak setengah jam kemudian. Aku merasakan kegembiraan yang sangat atas kehadiran buah hatinya yang nomor dua. Aku segera larut dalam kebahagiaan.
        Dan, anehnya, aku sudah lupa dengan kematian yang empat puluh lima sebelumnya kurenungkan dengan sepenuh hati
        Dari bunga matahariku, aku ingat makna kehidupan, lalu diteror kematian dua sosok yang kucintai, lalu terjerembab dalam kebahagiaan menyambut kelahiran keponakanku. Ya, pikiran sama misteriusnya dengan kematian itu sendiri. Tak bisa diprediksi, namun benar benar adanya.

Sabtu, 01 Maret 2014

Ekstra di Sekolah


KEGIATAN EKSTRA

banyak ekstra di sekolah seperti olahraga dan lomba-lomba. saya biasanya mengikuti lomba melukis dan saya sering menang lomba tersebut. kali ini saya mengikuti lomba
membuat blog dengan blogger.